Sabtu, 01 Mei 2010

Bisakah Akal MenemukanTuhan?


Dalam sejarah pemikiran Islam, tersebut sebuah kisah. Sekelompok jamaah yang tengah mendalami tasawuf terlibat pertengkaran dengan jamaah lain yang serius mengkaji filsafat. Mereka bertengkar tentang siapakah di antara keduanya yang paling benar pemahamannya tentang Tuhan. Pendukung tasawuf memandang kalangan filosof adalah orang yang hanya senang beradu argumentasi rasional tentang agama dan tentang Tuhan, tetapi justru tersesat karena kepintarannya. Tuhan berada di luar jangkauan nalar manusia, sehingga apa pun yang diputuskan oleh nalar tentang Tuhan hanyalah sebuah perkiraan teoritis dan sebuah konseptualisasi. Oleh karena itu, kata pendukung tasawuf, pemahaman dan pengenalan kepada Tuhan mestinya dengan rasa (dzauq) dan mata hati (bashirah), bukan dengan penalaran. Pendeknya, para filosof adalah orang-orang yang perlu dikasihani; mereka berputar-putar menghabiskan waktu untuk berdiskusi mencari Tuhan, padahal Tuhan itu dekat sekali, bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita, asalkan kita mau mendekati dengan hati (qolbu). Mengapa kita tidak mau memasuki wilayah hati yang merupakan jalan pintas untuk menemukan Tuhan yang memiliki singasana dalam qolbu setiap orang beriman?

Merasa tersinggung karena dianggap sesat jalan, maka para jamaah pendukung filsafat marah. Mereka menganggap bahwa justru kaum sufi yang salah dalam memilih jalan untuk mengenal Tuhan. Anugerah Tuhan yang paling besar adalah akal pikiran yang dengannya manusia disuruh membaca ayat-ayat kebesaran Tuhan sehingga mengantarkan manusia untuk memperoleh keyakinan yang kuat tentang keberadaan-Nya. Untuk apa manusia dianugerahi akal pikiran dan indra kalau bukan untuk membaca ayat-ayat-Nya yang bertebaran di seantero jagat raya ini? Bahkan juga dalam dirimu sendiri? dalam pandangan filosof, mengenal Tuhan dengan rasa sebagaimana yang ditempuh kaum sufi lebih bersifat psikologis dan tidak mendatangkan jalan yang terang benderang menuju Tuhan. Ketika seseorang dihadapkan pada kitab suci, hal pertama yang harus dilakukan adalah membaca, memikirkan, mendialogkan, dan menyimpulkan, bukannya merasakan. Bukankah makna Al-Quran sendiri adalah himpunan ayat Tuhan untuk dibaca, dipahami, dan direnungkan maknanya?

Demikianlah, perdebatan antara kedua kubu itu berakhir dengan pertengkaran, masing-masing pihak mengklaim dirinya paling benar dan paling dekat kapada Tuhan. Untuk mencari solusi agar tidak perpecahan di kalangan umat, kedua pihak sepakat untuk menghadirkan sang guru dari kalangan sufi dan filosof. Keduanya didaulat untuk melakukan debat terbuka, disaksikan oleh semua jamaah, agar umat bisa melihat sendiri siapakah di antara keduanya yang benar dan menang dalam debat terbuka itu, dan kemudian akan dijadikan panutan atau imam.

Tiba hari yang ditentukan, maka masyarakat datang berbondong-bondong layaknya pendukung pertandingan sepak bola yang fanatik. Di sebuah lapangan terbuka sudah tersedia panggung dengan dua kursi, sebuah untuk sang guru sufi, satunya lagi untuk sang guru filsafat. Persis pada jam yang telah disepakati, kedua guru naik panggung, berjabatan tangan dan memberi salam, lalu perdebatan dimulai. Tidak sampai lima menit berdialog, kedua guru itu berdiri dan menyatakan debat telah selesai. Para pengunjung penasaran siapakah yang menang diantara kedua guru itu, dan mendesak agar kesimpulan disampaikan secara terbuka sehingga umat bersatu, sehingga tidak lagi bertengkar karena akan mengganggu keyakinan dan ketenteraman hidup beragama. Maka, guru sufi berdiri dan berkata, ”Ternyata apa yang dipikirkan oleh teman saya sang filosof tentang Tuhannya sama dengan apa yang saya rasakan sebagai seorang penganut ajaran sufi.”

Hanya itu kalimat yang keluar, lalu sang sufi itu duduk, gantian sang filosof berdiri dan berkata, ”Saya bisa bertemu teman saya sang sufi, dan ternyata apa yang dia rasakan dan dia cari tentang Tuhannya adalah sama dengan apa yang saya pikirkan sebagai penganut ajaran filsafat. Kami berdua memiliki kesamaan tujuan, yaitu sama-sama mendekati Kebenaran, tetapi dengan cara yang berbeda, yang satu lebih menghargai akal dan yang satu lebih senang dengan qolbu. Namun keduanya adalah anugerah dari Tuhan yang sama.”

Demikianlah, perdebatan usai, lalu keduanya berpelukan, diikuti oleh para pengunjung yang datang. Mereka yang memilih jalan tasawuf dan yang memilih jalan filsafat bisa saling memahami dan menerima perbedaan masing-masing, tetapi berbeda berarti tidak harus bermusuhan. Perbedaan sebaiknya dilihat dari sisi positifnya saja, karena adanya perbedaan cara pandang dan argumentasi maka sebuah kebenaran lalu teruji sehingga terjadi proses pelurusan dan penjernihan sebuah konsep andaikan disana terjadi penyimpangan dan kepalsuan. Namun, pemahaman dan pengalaman tentang kebenaran tidak selalu monolitik dan finalistik bagi manusia. Terlebih lagi kebenaran tentang sabda Tuhan. Bukankah ilmu Tuhan meliputi segala-galanya, sedangkan manusia hanyalah sebagian kecil dari realitas ciptaan Tuhan?

Ditulis oleh Komaruddin Hidayat
Guru besar filsafat di Universitas Negeri
Syarif Hidyattullah, Jakarta.

Rasulullah bersabda, manusia yang terbaik di dunia dan akhirat adalah orang yang paling sempurna akalnya, walaupun dia bukan yang paling sempurna ibadahnya. Seseorang sungguh telah tergolong ahli puasa, ahli shalat, ahli haji dan ahli jihad, tetapi pada hari kiamat tidaklah akan diberi balasan dengan sebaik-baiknya, terkecuali sesuai dengan kadar kemampuan akalnya.

Al-A’raf, 7 : 179, ”Dan sesungguhya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari Jin dan Manusia, Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka laksana binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Adalah sesuatu hal yang benar jika berdasar pada akal dan hati nurani kita. Sebab kalau tidak, cara apa yang akan digunakan untuk membedakan manusia dengan hewan dimana alat inderawi mempunyai peranan yang sangat besar sekali pada dirinya dibandingkan dengan hewan, dan akal sebagai alat penunjuk ke jalan yang lurus dan benar. Dan hati sebagai kemudi untuk mengetahui semua perbuatan apa yang disaksikan oleh mata jasmani yang hendaknya ditanggapi (dengan hati) bahwa semua itu adalah Af’al (perbuatan-perbuatan) Allah SWT.

Semoga ada manfaat yang akan dapat kita ambil hikmahnya dari cerita ini, semoga?
Adalah kita sebagai insan cendikia harus menyeimbangkan ilmu dunia dan ilmu akhirat, pemahaman kita akan sebuah ilmu jangan kita persempit dengan apa yang kita dapatkan adalah mutlak benar tetapi haruslah obyektif dan dikaji terlebih dahulu.