Rabu, 24 Agustus 2016

10 Tahun Aku Membecinya, Seumur Hidup Aku Mencintainya (Repost)

Ini hanyalah sebuah cerita. Sebuah cerita yang sangat berkesan. Namun saya tidak tahu siapa yang pertama kali mengunggah, sehingga di belakang judul saya tambahi repost. Tidak bermaksud mengunggah tanpa izin pengunggah cerita pertama, namun semua yang tertulis di sini adalah sebuah pesan yang dapat kita ambil hikmahnya. Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

 Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

 Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

 Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Jumat, 11 Maret 2016

Gelembung Sabun

Kulirik jam yang bergantung di atas dinding kamarku. Jarum jam masih menunjukan pukul 16.00WIB. Akan tetapi langit terlihat gelap. Tertutup oleh awan. Benar saja, tak lama berselang rintik hujan ringan mulai membasuh tanaman di depan. Lekas-lekas kubuka daun jendela kamarku lebar-lebar, aku ingin menghirup bau pertama kali air hujan menyirami permukaan tanah ini. Ah, menyengat sekali baunya. Hujan deras pun mengguyur seantero pemandangan yang terhampar di hadapanku lewat jendela kamarku ini. Halaman dan seluruh batas pandang mataku hanya terlihat titik-titik air yang terlihat saling mendahului agar sampai pada bumi. Yah, ternyata aku masih harus menapaki jalan kehidupan yang masih terbentang panjang ini. Aku baru saja sampai di kota ini beberapa hari yang lalu. Kotak kardus sisa barang yang ada di kota sebelumnya baru datang sehari setelah kedatanganku di kota ini. Tak banyak barang yang berharga sebenarnya, toh, kebanyakan juga buku yang aku kumpulkan dan aku koleksi saat kuliah hingga bekerja. Aku tak mematok buku berjenis atau bergenre apa, banyak buku yg tidak relevan dengan studi yang aku ambil. Bahkan buku sastra dan novel terlalu mendominasi. Sambil menarik nafas panjang seraya memandang sesaat hujan di luar jendela, aku begegas segera merapikan tempat tidurku ini. Setelah selesei, aku duduk di samping tempat tidurku ini. Aku ingin menatapi jendela yg telah terbuka dengan riuhnya air hujan di luar sana. Apakah keputusan yang aku buat ini salah atau benar? Aku merenung cukup lama tentang hal ini. Berbagai peristiwa yang aku alamipun melintas berkelindan satu persatu dalam pikiranku. Hanya mendesah jawaban akhir yg keluar dari mulutku.

Tiba-tiba suara HP-ku membuyarkan apa yang aku renungkan. Lekas-lekas aku meraih HP-ku itu. Ternyata ada beberapa pesan teman dari kota lama. Kualihkan perhatianku pada sebuah pesan itu. Ada beberapa hal yang terjadii sejak meninggalkan kota lama itu. Memang aku tidak begitu paham dampak yang ditimbulkan setelah peninggalanku hari itu. Aku terkadang heran. Betapa seringnya teman-teman dekat baru menaruh perhatian istimewa kepada kita kalau keadaan sudah terlambat. Kenapa perhatian seperti itu tidak diberikan jauh-jauh hari sebelumnya? Dan kenapa pula seakan-akan hal-hal kecil menjadi penting bagi mereka? Aku tersenyum tipis, tidakkah mereka menyadari sebenarnya cerita mereka terkadang aku tidak ingin mendengarnya? Tetapi tak apalah. Kubiarkan saja pesan-pesan itu memenuhi inbox di HP-ku. Aku berusaha membalas dengan berbagai hipotesa bila itu masalah yg disodorkan. Aku berusaha membalas dengan santun bila itu pertanyaan tentang kabar yang diutarakan. Aku membalas semua pesan agar melegakan mereka. Aku tak mau membiarkan kegembiraan bermegah-megah di hati mereka menguap begitu saja bila aku balas dengan kosakata yg tidak pantas. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mampu memahami apa ati bersandiwara dalam kehidupan nyata. Namun juga untuk pertama kalinya baru kumengerti betul apa makna keberadaan seorang manusia di tengah masyarakat. Bahwa manusia adalah makhluk sosial, tak mungkin mampu melepaskan diri dari lingkungan hidupnya, dari seluruh tatanan di sekitarnya. Lebih-lebih jika hidup dalam komunitas yang telah menjadikan kata ''keluarga'' sebagi slogannya.

Aku baru meraih kesadaran ketika hawa dingin menerpa wajahku. Hujan memang belum reda betul hingga aku tersadar sesaat tadi. Jam dinding telah menunjukkan pukul 17.08WIB. Lama betul aku terdiam tadi. Masjid telah sayup-sayup mendengarkan bacaan murattalnya. Waktunya beranjak untuk beraktifitas segera agar tidak tertinggal jamaah menjelang maghrib nanti. Tiba-tiba mata ini tertarik dengan sebuah web kamus dalam bahasa Inggris. Dan yang tertulis di dalamnya membuatku tertegun, lagi dan lagi menatap tulisan yang ada dihadapanku ini. www.merriam-webster.com/dictionary/antihero yang tertulis seperti ini, antihero: a man character in a book, play, movie, etc. who does have the usual good qualities that are expected in a hero, or a protagonist or notable figure who is conspicuously lacking in heroic qualities. ''Anti-hero, sesosok tokoh yang secara mencolok memiliki kekurangan dalam hal kualitas-kualitas heroik atau tokoh protagonis " ~ Kamus Merriam-Webster. Sepertinya menyentil sekali kosakata ini. Jangan-jangan hal ini yang terjadi padaku selama ini. Aku menjadi orang yang seakan mencolok dengan memberi perhatian padahal aku menjadi seseorang yang protagonis. Aku hanya seorang yang mereka anggap bisa mengatasi berbagai masalah yang terjadi diantara mereka tetapi disaat yang sama pula aku menjadi seorangang pengkhianat atas kepercayaan mereka kepadaku. Aku tak tahu harus memikirkan apalagi. Aku memandang hujan itu sekali lagi. Betapa riuhnya air yang jatuh dari langit itu mengenai sisa-sisa sabun di depan jedelaku itu mebentuk gelembung-gelembung sabun namun setelah itu hilang tersaput air hujan untuk mengalir. Apakah hidupku akan berakhir seperti gelembung sabun yang terbentuk itu, yang indah memancarkan warna-warni sesaat setelah itu berpendar tiada tersisa?

Rabu, 09 Maret 2016

Serendipity

Serendipity yang artinya kesanggupan untuk menemukan sesuatu keterangan dengan tidak disengaja, mencari sesuatu yang lain dalam waktu bersamaan (kebetulan yang menguntungkan). Merupakan sebuah kebetulan yang tidak direncanakan tetapi didukung sepenuhnya oleh semesta untuk dapat terwujud. Atau istilah lainnya ialah takdir : hal yang terjadi pada seseorang atau apa-apa yang akan terjadi pada mereka dimasa yang akan datang khususnya sesuatu yang terjadi di luar kontrol mereka. Takdir menentukan segala kehidupan kita, dengan penggalan-penggalan kisah yang segalanya terkait erat dan telah diatur menjadi sebuah scene bagi kita. Dengan begitu apakah kita tak punya pilihan? Tentu tidak, meskipun telah ditentukan, kita tetap mempunyai pilihan sebab ada bentuk tanda-tanda yang akan mengisyaratkan sesuatu. Dengan tanda-tanda kita dapat membaca dan menterjemahkan pertanda tersebut dan akan menentukan kebahagiaan yang kita peroleh. Memang aneh semua: kebetulan yang menguntungkan, penemuan-penemuan tak disengaja, kesempatan yang hanya sekali, penyesalan yang tiada akhir, kekecewaan sebagai penyebab balas dendam, semua hal ini terkait bagaimana kita memilih untuk bersikap atas kejadian yang kita hadapi. Waktu dan saat yang tepat atas pilihan kita pun tetap sesuai dengan takdir yang sudah tertulis. Dalam Islam ada dua takdir yang diberikan kepada manusia, yaitu takdir mukalaq dan takdir mubrom. Takdir mukalaq ini ialah takdir yang tidak dapat dirubah yang telah ditentukan oleh-Nya. Dan takdir mubrom ini ialah takdir yang dapat dirubah oleh manusia dengan segenap usaha, iktiar dan doanya.

Kebetulan memang tidak dapat diciptakan, hal tersebut melaju dengan sendirinya sesuai dengan waktu yang terus berjalan. Dengan begitu ada hal yang lain yang turut mempengaruhi kebetulan yaitu sesuatu hal yang sedang kita kerjakan. Dalam bidang pekerjaan yang kita tekuni pastinya memerlukan komunikasi yang intens agar terjadi interkoneksi integratif terhadap semua orang agar tidak terjadi kegagalan dalam berkomunikasi. Komunikasi sebagai jembatan untuk membentuk takdir yang terjadi agar menjadi sebuah peristiwa nyata dan bukan sebuah kebetulan, hal ini memang terkesan dibuat-buat sebagai alasan. Adanya saat-saat atau sebuah momen yang kita nantikan akan memperbaiki kesempatan kita yang berarti dapat merubah kebetualan-kebetulan yang akan terjadi. Tanpa mengenyampingkan pertanda-pertanda yang ada disekitar kita. Pertanda sebagai bentuk kebetulan bahkan membutuhkan kecocokan sebagai isyarat agar dikenal menjadi ujian kemantapan hati. Dan apapun tidak dapat terlaksana bila seluruh semesta alam tidak mendukungmu.Pertaruhan yang tidak seimbang pastinya, tetapi cukup menjadi bahan renungan. Janganlah hidup dalam mimpi tapi hidupkan mimpimu tersebut dalam dunia nyata ini. Seluruh pengalaman yang kita dapatkan merupakan pengalaman yang sama sekali berbeda meskipun seolah-olah seperti de javu sekalipun.

Memang dalam kecocokan itu sulit dicari bila sudah tidak merasa nyaman. Tetapi takdir terkadang memberikan suatu pertanda yang berbeda dengan persepsi kita. Hal itu yang mudah membuat kita menjadi mudah putus asa maka dari situlah dibutuhkan rasa/intuisi yang yang kuat agar kebetulan yang menguntungkan tetap pada jalur yang kita lalui. Disinilah letak peranan komunikasi, meski takdir akan tetap mengirimkan dan selalu mengirimkan pertanda-pertanda agar kita mau mengikuti pertanda yang dibuat tersebut. Komunikasi yang dilakukan secara aktif juga membentuk simpu-simpul yang nantinya akan menjadi terikat kuat dan membentuk sebuah jaringan, dan jaringan-jaringan tersebut akan membentuk sebuah jembatan kesempatan. Dan itulah jembatan takdir yang kita jalani hingga akhir hayat kita. Setiap waktu kita mencari tahu dan masuk ke segala pintu kesempatan yang ada untuk menemukan takdir yang tertulis untuk kita. Irama yang tepat untuk menggapai hal tersebut berawal dari pemicu dan daya respon kembali. Sebab agar menemukan belahan-belahan kecil dari berseraknya simpul-simpul kecil dari takdir adalah menyelaraskan irama dengan semesta alam untuk menemukan secara utuh dari artian takdir yang sedang berjalan tersebut. Dan kebetulan hanyalah sebuah perantara, yang nyata adalah ketika garis kemampuan bertemu/bersinggungan/berpotongan pada titik temu yang sama dengan garis kesempatan. Sebab ketika Tuhan menutup pintu-Nya, Dia akan membuka jendela-Nya.

Selasa, 01 Maret 2016

Kota Angin, Angin Perubahan?

Pada akhirnya berakhir sudah petualanganku dalam mencari ilmu, pengalaman, teman, dan prestasi di kota ini. Kota yang sarat dengan berbagai permasalahan namun tak nampak dari luar sehingga membuat terlena sesaat. Kota yang menawarkan segala kerendahan hatinya untuk dihuni oleh para pejuang pencari ilmu dari berbagai belahan dunia manapun. Kota yang semakin menata diri untuk lebih baik namun tidak diimbangi oleh karakter pendatangnya yang terkadang terlalu arogan. Kota yang seluk beluknya menitipkan sejuta kenangan dan sejuta imajinasi yang sangat menyenangkan. Kota yang juga sering membuat menitikan air mata atas segala keangkuhan hati menerima semua segala penyesalan yang pernah dilalui. Kota yang bernama Yogyakarta, kota tujuan pertama bila aku selesei menempuh sekolah menengah atas. Namun setelah sekian lama menjadi bagian dari kota ini, ada tugas mulia yang mengharuskan untuk kembali ke kota lama. Kota yang sangat berkebalikan dengan kota Yogya dengan segala kemegahan dan kenyamanannya. Meski kota kecil yang tak menjanjikan apapun dibandingkan kota Yogya, ada sesuatu hal yang menjadikannya kota yang jauh dari hingar bingar ini menyimpan keistimewaan layaknya kota Yogya yang dengan jargonya Yogya Istimewa. 

Berakhirnya petualangan di kota ini memang keinginanku semata, secara tak terduga memang. Yang seharusnya sudah beberapa tahun yang lalu untuk segera keluar dari kota yang nyaman ini. Kembali ke kota kelahiran sangat berat memang, dimana ada anggapan bila seseorang telah merantau dan bila kembali berarti dianggap telah sukses secara finansial. Tidak demikian dengan diriku ini. Secara finansial telah hancur, secara lahir hanya bisa tersenyum getir, bahkan batin pun juga luluh lantak. Tidak ada yang dapat dibanggakan atas kembalinya diriku ini ke kota kelahiran yang sudah lama aku tinggalkan. Mungkin pelarian pantas disematkan kepada diriku. Lari dari semua keputus asaan, kegelisahan, kegundahan, keterpurukan dan penyesalan yang tiada berujung. Rasa negatif yang melekat padaku ini memang tidak semestinya aku bawa serta ke kota kelahiranku ini. Aku memahami semua solusinya yang aku hadapi ini. Tetap saja aku tidak bisa melepaskan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan ini. Apakah aku harus menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi padaku ini? Apakah aku harus? Tentu jawaban yang logis adalah ini adalah kesalahanku semata. Atas apa yang aku usahakan dan atas apa yang aku selalu panjatkan menjadi doa keseharian. Menilik dari masa saat aku menginjakan ke kota Yogya ini, aku telah mengarahkan hatiku untuk membersitkan suatu hal yang tidak seharusnya aku bersitkan. Meski semua telah diamini dan terlaksana. Ada rasa penyesalan yang mendalam setelah ada kejadin-kejadian tersebut. Kenapa harus berakhir dengan tidak nyaman. Sudahlah, itu adalah masa lalu yang menjadikan seorang laki-laki dan perempuan menjadi dewasa menurut versi masing-masing. Dewasa yang salah satunya memendam rasa benci sekaligus rasa kasih dan harap, dan yang salah satunya menjadikan masa lalu bukanlah apa-apa dan hanya sinaran yang melintas sesaat. 

Ada harapan meski kecil, yang seakan kegelapan diterangi oleh lilin kecil. Ada angin yang tiada berhenti berhembus meski dilain musim. Ada perubahan meski memang tak segamblang di kota sebelumnya. Angin perubahan selalu berhembus menemani siapa pun yang ingin menjadi lebih baik. Menjadi manusia baik, yang menerima manusia lainnya dalam keadaan apapun. Manusia yang tidak memaksakan keinginan namun manusia yang mengajarkan kehendak untuk membantu manusia lainnya. Manusia yang berada di kota angin yang membawa perubahan disetiap persinggahannya. Kota yang berbeda dengan kota lainnya. Mungkin disinilah jalan yang harus ditempuh meski ada secuil asa untuk mengejar mimpi ke negeri kincir angin, atau negeri yang terkenal akan bunga sakuranya. Ada sejuta harapan untuk berharap ilmu yang didapat ini tidak sia-sia di kota angin ini, kota yang akan membawa angin perubahan. Semoga!


Rabu, 13 Januari 2016

Manajemen Yang Apa Adanya


Ketika kita pertama kali masuk dalam dunia organisasi, seringkali kita berusaha melakukan semuanya dengan usaha kita yang terbaik. Namun seiring berjalannya waktu kita memahami dunia organisasi adalah dunia untuk membaca segalanya, dunia untuk mencoba segalanya, dunia untuk menemukan dan mengelola semua sumber daya yang ada, dan dunia yang penuh permasalahan sangat kompleks antar individunya. Dengan begitu mudah dipahami untuk menjadi bagian dari manajerial di tahun kedua ataupun berikutnya sangat enggan dengan berbagai alasan. Dengan alasan tenaga telah dioptimalkan di tahun pertama, mengejar hal-hal lain yang diimpikanya, ingin mencoba tantangan baru di organisasi yang lain, dan sebagainya. Begitulah kehidupan organisasi yang memang sebagai wadah pembelajaran manajer pemula. Organisasi yang akan kita bahas ini adalah sebuah organisasi di tingkatan mahasiswa yaitu organisasi unit kegiatan mahasiswa. Kita menyadari dalam organisasi mahasiswa ini yang keuntungan finansial bukanlah sebagai tujuan utama. Dan organisasi kemahasiswaan ini merupakan organisasi gotong royong untuk menghidupinya, namun dalam organisasi gotong royong ini yang berazaskan kekeluargaan akan menjadi sebuah jawaban bagaimana berkarya dengan baik dalam keadaan sumber daya yang kurang memadai. Kita memang memiliki pilihan dan lebih ahli dalam beberapa hal atau bahkan satu hal dibanding dengan orang lain (sebagai akibat karena hal-hal itu menjadi pilihan kita). Dengan adanya organisasi mahasiswa ini diharapakan adanya pengembangan diri (pengembangan dalam hal keahlian menangani orang lain, pengembangan keahlian yang sudah ada menjadi lebih terperinci lagi, pengembangan dan mengajarkan keahlian pada orang lain) dan konsep dasarnya adalah saling bertukar ilmu. Namun dengan adanya transfer of knowledge tadi, jangan juga menghambat perkembangan antar individu. Pengalaman yang sudah kita dapatkan jangan menjadi sebuah patokan akan keberhasilan untuk orang lain namun jadikan pengalaman kita tersebut menjadi sebuah keyakinan dan karakteristik pribadi untuk menjadi modal yang diperlukan untuk menjadikan sebuah organisasi lebih berkembang secara efektif dan efisien.

Kita memiliki sebuah pengalaman yang sangat besar. Sembilan puluh lima persen dari apa yang kita pelajari berasal dari pengalaman dengan hanya lima persen berasal dari buku, pelatihan dan sebagainya (patut diteliti, bukan?). Jika ilmu-ilmu yang didapatkan dari buku, pelatihan dan lainnya tersebut dapat dihubungkan dan diselaraskan dengan pengalaman yang kita miliki, maka ilmu-ilmu tersebut akan menjadi mitra kita yang setara dan pada akhirnya akan menjadi wawasan yang dapat memperbaiki kinerja kita. Merupakan awal yang baik bila setiap gagasan yang terbentuk dari ide-ide “aneh” setiap individu dapat ditampumg oleh organisasi untuk dijadikan wawasan yang berkembang menjadi sebuah program kerja. Memang, hampir semua gagasan yang ditawarkan tidak dapat diakomodir semuanya dan sepenuhnya, setidaknya kumpulan dari semua gagasan tersebut yang masuk akal dapat dijadikan sebuah program kerja. Gagasan besar tidak didapat dari rasa skeptis, melainkan dari uji coba yang dikelola dan mudah diterapkan untuk keberhasilan bersama. Dari gagasan tersebut kita belajar untuk beruji coba, belajar dari pengalaman mencoba melakukan sesuatu, memerhatikan apa yang tidak berhasil, dan mengubah pendekatan kita sampai kita menemukan yang cocok untuk diterapkan pada organisasi kita. Kesalahan terbesar yang dibuat orang ketika mencoba mengasumsikan bahwa cara memberdayakan orang lain dengan cara dan gaya yang sama. Kita tidak pernah tahu bahwa itu adalah kesalahan terbesar bagi kita sebagai pemimpin organisasi ataupun kepala divisi di sebuah organisasi. Jangan berasumsi. Cara yang tepat adalah amati sejenak, cermati perilakunya, ketahui sikapnya lalu terapkan pendekatan yang bagaimana yang akan dipilih. Memiliki keahlian berkomunikasi yang luar biasa/istimewa sangat menjamin kesuksesan kita dalam penerapan pendekatan ini, tapi jika saja kita tidak yakin bahwa berbicara tidak pernah menyeleseikan apapun maka keahlian itu tidak akan ada manfaatnya. Sangat penting menemukan dan menentukan waktu yang tepat untuk melakukan pendekatan. Sebab yang seharusnya adalah mengembangkan suatu  cara mengelola individu-individu yang berbeda menjadi individu yang istimewa, bukan cara bagaimana pengrusakan individu bagi setiap yang terlibat dalam organisasi.

Apabila kita seperti kebanyakan organisasi yang hanya pandai dalam berkonsep namun tidak dapat meyakinkan dalam menjelaskan konsep tersebut, maka kita hanya handal dalam menuliskan sebuah cerita tapi tidak tahu alur cerita itu akan dibawa kemana. Dalam manajerial sebuah organisasi memang membutuhkan seorang manajer handal yang bisa melihat masa depan. Bukan mendahului takdir, namun menyiapkan konsep yang masuk akal, menjelaskan konsepnya secara meyakinkan, mencoba melakukan sesuatu berdasarkan intuisi (mengetahui sesuatu tanpa tahu bagaimanacara kita mengetahuinya) agar konsep itu berjalan dengan baik, dan  kita membutuhkan pemicu-pemicu dari alam bawah sadar kita untuk mensinkronkan itu semuanya. Kita semua tahu bagaimana hal itu bekerja. Memang lebih mudah mengatakannya daripada melaksankannya. Suatu keyakinan yang diubah atau dimanipulasi sedikit saja maka akan menjadi motivasi yang dapat memicu perilaku tanpa menuntut kekuatan kemauan yang besar. Perubahan keyakinan tersebut hanya memerlukan sepersekian detik untuk mencapainya dan akan bertahan untuk selama-lamanya. Hal itulah yang ingin dicari dan dicapai, keefektifan. Keefektifan adalah konsep ketika orang-orang berbahagia untuk melakukan sesuatu karena alasan-alasan yang sehat. Inilah manajemen apa adanya yang orang-orang bekerja didalamnya menjadi bahagia dengan alasan yang sehat (mereka benar-benar melihat segala hal sebagaimana adanya dan tidak sebagaimana yang mereka inginkan). Sebab ada juga orang orang yang bahagia tapi bersifat khayalan atau tidak bahagia sebab menjadi korban atau karena alsan-alasan yang tidak sehat (mereka mengubah apa yang mereka lihat untuk disesuaikan dengan kenyataan internal mereka). Jika kita tidak berbahagia dengan respon dari organisasi yang kita ikuti, tidak memperoleh pengalaman-pengalaman yang kita inginkan maka kita boleh saja mempunyai opsi. Opsi pertama, lanjutkan terus apa adanya, seperti seorang memerankan korban melodrama sendiri, menyalahkan situasi atau orang lain, dan menyeret mereka bersama dengan kita. Opsi kedua, melihat kembali hasil-hasil yang telah lampau, kemudian kita mengubah mereka sesuai dengan pengalaman kita tersebut agar kita senang. Atau opsi ketiga, kita beranggapan bahwa apa yang kita dapat adalah program kerja yang kita inginkan dan telusuri kembali keyakinan awal yang mendorong perilaku organisasi, jika kita setuju dengan keyakinan-keyakinan itu maka kembalilah ke opsi kedua dan bila tidak setuju maka periksa kembali hal itu kemudian kembangkan alternatif-alternatif lain untuk mengubah program kerja dan perilaku organisasi serta capailah hasil-hasil yang berbeda dengan lebih baik. 

Dan pada akhirnya mari kita membuatnya tetap menjadi kenyataan bahwa konsep dan hasil apapun pada dasarnya mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, apa yang saya tulis ini semoga dapat memberikan yang terbaik untuk organisasi kita. Apa yang saya tulis ini akan bekerja hanya bila kita menggunakan nalar dan wawasan ini sebagai pemicu untuk mengangkat pengalaman dan wawasan intuitif kita, sebab pada akhirnya hanya wawasan dan konsep yang dapat dijelaskan secara meyakinkan yang dapat memperbaiki kinerja kita untuk organisasi. Dan jangan lupa untuk sering-sering bertanya pada diri kita masing-masing, apakah kita bahagia dengan hasil-hasil yang telah dicapai? Bagaimana selanjutnya?

Referensi :

Real Coaching and Feedback, JK Smart 2003 (Karen Smart).

Selasa, 22 Desember 2015

Ketika...

Entah kenapa aku selalu ingin menitikkan air mata saat membaca buku yang berjudul KMGP (Ketika Mas Gagah Pergi) ini. Selalu saja berkaca-kaca setelah membacanya. Teringat saat pertama kali membacanya di tahun 2002 silam. Padahal cerita ini dimuat di majalah Annida 1993 yang ketika saat itu masih dalam usia sekolah dasar. Dan Saat KMGP terbit sebagai buku untuk pertama kalinya tahun 1997-pun masih berseragam biru putih. Lama sekali jedanya untuk dapat membaca karya sastra ini. Ketika membacanya pun seakan menemukan oase di padang gersang, yup, menemukan sesosok tokoh panutan yang akan menjadi obsesi seumur hidup. Di dalam cerita dikisahkan tentang seseorang bernama Gagah yng memiliki nama adik Gita. Meski hanya seorang tokoh imajiner, namun cara menggambarkan sesosok tokoh ini membuat karismanya seoalah mampu hadir dalam kehidupan sehari-hari yang saat itu sangat sulit mencari seorang pemuda yang islami, idealis, dan cerdas. Dari hari kehari berharap menjadi sebuah kenyataan bila dapat menemui sesosok tersebut. Dan hal itulah mengantarkanku kepada kota pelajar ini, berharap menemukan sesosok tersebut. Memang banyak pemuda yang hampir menyerupai sesosok Mas Gagah dalam artian keislamannya namun masih dirasa ada yang kurang. Entahlah apa itu.

Sudahlah, kita membahas dari segi cerita saja jangan mengusik keimanan yang akan divisualisasikan ini. Cerita yang memang sangat menyentuh perasaan ini. Dalam ceritanya yang sarat dengan pembelajarn untuk pemeluk agama Islam. Memang sangat jarang sebuah cerita yang bertahan cukup lama ini  (dari 1993 hingga 2015) yang gaungnya tetap sama sehingga dapat mengispirasi. Tak terasa 23 tahun dari hanya sebuah cerita untuk tugas kuliah menjadikannya sebuah karya luar biasa yang sangat diimpikan dalam bentuk film ini. Ceritanya dapat kalian baca di sini sastrahelvy. Meskipun wacana memfilmkan KMGP sudah dimulai pada tahun 2004. Itu 11 tahun lalu! Namun baru bisa terealisasi 2015 karena susahnya mencari house production yang memiliki spirit sama dalam mewujudkan KMGP ke layar kaca. Memang sangatlah sulit menanamkan film islam tetapi benar-benar mencerminkan Islam itu sendiri sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. kalian bisa lihat skuelnya di sini kmgp the movie.
Akhir kalimat yang tidak ingin aku tulis adalah.... sungguh luar biasa dan sangat istimewa... selalu terharu dengan mata berkaca-kaca bila membaca KMGP ini. Semoga film yang akan datang dapat memenuhi ekpektasi pada sesosok mas gagah yang selalu gagah, wangi dan tampan ini. Cerita bisa dibaca di sini ketika-mas-gagah-pergi.

Sabtu, 27 Juni 2015

Patah Semangat

Sebuah cerita dari teman pelatih tentang permasalahan dalam kepelatihan olahraga prestasi ataupun profesional. Permasalah tersebut ialah patah semangat. Patah semangat yaitu padam semangat dalam latih dan melatih diakibatkan karena stress. Pelatih yang mengalami patah semangat biasanya merasa tak berdaya, mudah marah dan kurang kendali atas lingkungannya (menganggap metode latihannya sudah tidak memungkinkan dan diperparah oleh rasa frustasi). Patah semangat paling sering terjadi pada pelatih yang antusias, berdedikasi dan penuh perhatian. Patah semangat ini pun bukanlah suatu fenomena khusus yang dialami oleh pelatih olahraga besar, olahraga apapun dan pada tingkat mana pun dapat menderita gejala ini. Umumnya, pelatih yang mengalami patah semangat tersebut berpikiran tertutup dan jadi tidak luwes. Banyaknya waktu yang dihabiskan dalam tugas kepelatihan mungkin meningkat, namun lebih sedikit yang terseleseikan. Akhirnya terjadilah patah semangat yang menghinggapi pelatih-pelatih tersebut menjadi tidak sehat, terlalu lelah dan merasa tertekan.
   Olahraga prestasi tidak mungkin belajar otodidak, pastinya ada seorang pemandu yang ahli dalam bidang dan cabang yang dipilih. Pemandu pun tak dapat memandu dan melatih bila tidak ada sertifikat yang melegalkan program latihan yang diterapkannya. Hidup sebagai seorang pemandu olahraga prestasi itu sebenarnya sangat menyenangkan meski kadang sangat dipengaruhi kapabilitas anak didik yang dipandunya. 
    Ada sebuah cerita tentang pelatih yang patah semangat. Katakanlah namanya pelatih "X". Pelatih "X" biasanya antusias dan senang memenuhi impian seumur hidupnya untuk melatih. Pada 10 tahun pertama dalam melatih timnya benar-benar kelihatan berhasil. Olahragawan, orang tua dan guru kagum atas kemampuan kepemimpinannya. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berpilir tentang kepelatihan, tentang melatih, mengamati pertandingan, mempelajari film-film pertandingan dan mempersiapkan pertandingan. Pelatih X ini selalu tinggal lama setelah latihan bersama olahragawan. Para orang tua sering menelepon ataupun sms (short message service) untuk menyatakan bahwa dialah yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka. Sanjungan dan terima kasih datang tak henti-hentinya. Seiring waktu berjalan, pelatih X akhirnya menyadari bahwa dirinya adalah satu-satinya orang yang benar-benar memperhatikan olahragawan sebagai orang, manusia dewasa dikemudian hari. Orang lain nampaknya memperlakukan kepelatihannya sebagaikerja sambilan. Mereka hanya mempunyai sedikit waktu bagi olahragawannya. Mereka bersembunyi di kantornya dan mengasingkan diri sedapat-dapatnya. Bahkan olahragawan dari pelatih lain minta tolong pada pelatih X ini. Pelatih mereka nampaknya kurang begitu peduli dan perhatian. Akhirnya, pelatih X mulai menyadari bahwa keuangannya tidak mencukupi. Guru dan pelatih lain keadaannya lebih baik. Mereka menambah pendapatannya dengan pekerjaan lain sementara pelatih X mengurusi olahragawannya. Para pengurus tahu apa yang terjadi,tetapi nampaknya mereka tidak peduli. Merekamenyatakan padanya untuk tidak terlalu serius menanggapi pekerjaannya sebagai pelatih. Pelatih X mula-mula memperhatikannya meskipun tidak melakukan tindakan apapun. Ia mulai mempertanyakn nilai-nilainya dan mulai khawatir bahwa ia tidak dapat memenuhi kebutuhan finansial keluarganya. Untuk kali pertama pelatih X mempertanyakan tanggungjawabnya dalam melatih. Tetap melatih dengan bayaran yang kurang cukup untuk kebutuhannya atau berhenti dan melupakan dunia kepelatihan. Bahkan keluarganya sempat membujuk untuk berhenti melatih. Ketika pelatih X pada keputusan berhenti melatih, banyak para orang tua olahragawan tidak memahami. Merekan pikir pelatih X sudah malas dan tidak peduli lagi. 
    Begitulah akhir dari riwayat seorang pelatih. Mereka dituntut mengembangkan suatu tanggungjawab yang kuat atas nilai-nilai tertentu namun tidak didukung dengan finansial yg cukup. Kemantapan dan dedikasi sebagai pelatih sangatlah penting bahkan jauh lebih bernilai daripada kemenangan, tetapi perhatian dan apresiasi kita atas kerja keras pelatih jangan dilupakan. Mereka juga ada keluarga yang harus dicukupi kebutuhan finansialnya. Dengan demikian agar para pelatih tetap bahagia dalam melatih dan tidak ada hutang untuk menghidupi keluarganya.

Bacaan yang dianjurkan
- Dasar-dasar ilmiah kepelatihan (Russell R. Pate)