Selasa, 01 Maret 2016

Kota Angin, Angin Perubahan?

Pada akhirnya berakhir sudah petualanganku dalam mencari ilmu, pengalaman, teman, dan prestasi di kota ini. Kota yang sarat dengan berbagai permasalahan namun tak nampak dari luar sehingga membuat terlena sesaat. Kota yang menawarkan segala kerendahan hatinya untuk dihuni oleh para pejuang pencari ilmu dari berbagai belahan dunia manapun. Kota yang semakin menata diri untuk lebih baik namun tidak diimbangi oleh karakter pendatangnya yang terkadang terlalu arogan. Kota yang seluk beluknya menitipkan sejuta kenangan dan sejuta imajinasi yang sangat menyenangkan. Kota yang juga sering membuat menitikan air mata atas segala keangkuhan hati menerima semua segala penyesalan yang pernah dilalui. Kota yang bernama Yogyakarta, kota tujuan pertama bila aku selesei menempuh sekolah menengah atas. Namun setelah sekian lama menjadi bagian dari kota ini, ada tugas mulia yang mengharuskan untuk kembali ke kota lama. Kota yang sangat berkebalikan dengan kota Yogya dengan segala kemegahan dan kenyamanannya. Meski kota kecil yang tak menjanjikan apapun dibandingkan kota Yogya, ada sesuatu hal yang menjadikannya kota yang jauh dari hingar bingar ini menyimpan keistimewaan layaknya kota Yogya yang dengan jargonya Yogya Istimewa. 

Berakhirnya petualangan di kota ini memang keinginanku semata, secara tak terduga memang. Yang seharusnya sudah beberapa tahun yang lalu untuk segera keluar dari kota yang nyaman ini. Kembali ke kota kelahiran sangat berat memang, dimana ada anggapan bila seseorang telah merantau dan bila kembali berarti dianggap telah sukses secara finansial. Tidak demikian dengan diriku ini. Secara finansial telah hancur, secara lahir hanya bisa tersenyum getir, bahkan batin pun juga luluh lantak. Tidak ada yang dapat dibanggakan atas kembalinya diriku ini ke kota kelahiran yang sudah lama aku tinggalkan. Mungkin pelarian pantas disematkan kepada diriku. Lari dari semua keputus asaan, kegelisahan, kegundahan, keterpurukan dan penyesalan yang tiada berujung. Rasa negatif yang melekat padaku ini memang tidak semestinya aku bawa serta ke kota kelahiranku ini. Aku memahami semua solusinya yang aku hadapi ini. Tetap saja aku tidak bisa melepaskan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan ini. Apakah aku harus menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi padaku ini? Apakah aku harus? Tentu jawaban yang logis adalah ini adalah kesalahanku semata. Atas apa yang aku usahakan dan atas apa yang aku selalu panjatkan menjadi doa keseharian. Menilik dari masa saat aku menginjakan ke kota Yogya ini, aku telah mengarahkan hatiku untuk membersitkan suatu hal yang tidak seharusnya aku bersitkan. Meski semua telah diamini dan terlaksana. Ada rasa penyesalan yang mendalam setelah ada kejadin-kejadian tersebut. Kenapa harus berakhir dengan tidak nyaman. Sudahlah, itu adalah masa lalu yang menjadikan seorang laki-laki dan perempuan menjadi dewasa menurut versi masing-masing. Dewasa yang salah satunya memendam rasa benci sekaligus rasa kasih dan harap, dan yang salah satunya menjadikan masa lalu bukanlah apa-apa dan hanya sinaran yang melintas sesaat. 

Ada harapan meski kecil, yang seakan kegelapan diterangi oleh lilin kecil. Ada angin yang tiada berhenti berhembus meski dilain musim. Ada perubahan meski memang tak segamblang di kota sebelumnya. Angin perubahan selalu berhembus menemani siapa pun yang ingin menjadi lebih baik. Menjadi manusia baik, yang menerima manusia lainnya dalam keadaan apapun. Manusia yang tidak memaksakan keinginan namun manusia yang mengajarkan kehendak untuk membantu manusia lainnya. Manusia yang berada di kota angin yang membawa perubahan disetiap persinggahannya. Kota yang berbeda dengan kota lainnya. Mungkin disinilah jalan yang harus ditempuh meski ada secuil asa untuk mengejar mimpi ke negeri kincir angin, atau negeri yang terkenal akan bunga sakuranya. Ada sejuta harapan untuk berharap ilmu yang didapat ini tidak sia-sia di kota angin ini, kota yang akan membawa angin perubahan. Semoga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar