Selasa, 05 April 2011

Imagine Spiritual dan Kebudayaan Ilmu Silat (Yang Tersirat Dalam Ilmu Silat)

Kehidupan spiritual silat hanyalah sebuah tebakan-tebakan yang ada dalam angan-angan atau hanya ada pada khayalan saja. Ada banyak pemahaman yang mengindikasikan bahwa kehidupan spiritual pesilat hanya ada pada agama yang dianutnya saja tanpa melihat misi pejagaan budaya dan tradisi yang telah mengakar pada silat itu sendiri. Hal ini dipertegas dengan semakin tidak diminatinya untuk mempelajari falsafah yang ada dalam silat dan mulai ditinggalkannya proses-proses untuk mengasah ketajaman intuisi dan kepekaan terhadap yang kasat mata (olah batin). Sebagian dari penggemar ilmu silat lebih menginginkan ilmu kanuragan (olah fisik) saja yang diolah hingga tuntas, sehingga ilmu silat yang berhubungan dengan pengolahan ilmu batin seolah mulai ditinggalkan. Ilmu olah batin dinilai sudah kuno dan tidak “njamani” sebab ilmu tersebut tidak dapat dilalui atau dikuasai dalam waktu singkat dan instan. Ilmu olah kebatinan pada saat ini dibeberapa perguruan silat hanya diajarkan kepada mereka yang berminat dan minimal telah mengusai berbagai jurus-jurus silat. Pesilat diharuskan menguasai jurus yang bila diperagakan enak dipandang hingga jurus yang keras dan mematikan sebelum beroleh ilmu olah batin. Pada zaman dahulu lebih ekstrim untuk bisa mendalami ilmu olah batin, yaitu yang berhak mempelajari ilmu tersebut haruslah memiliki hubungan kerabat dan dekat dengan para “pendekar”. Tetapi melihat laju perkembangan zaman saat ini yang tiada terbatas arus informasi, setidaknya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu olah batin tersebut tentulah sangat berguna untuk membetengi diri dari marabahaya dan bukan sebagai komoditas ajang pamer. Sebab dengan tingkat kewaspadaan diatas normal tentu saja, diharapkan dapat melindungi seseorang atau masyarakat dari gangguan yang tak kasat mata ataupun yang kasat mata. Dan bila diapresiasi dengan baik, penguasaan ilmu olah kebatinan dapat dijadikan sebagai salah satu landasan untuk menseleksi seorang pendekar silat agar benar-benar menjadi “pendekar” yang mumpuni, sehingga tidak semua orang bisa menjadi “pendekar”.
Terkadang, sedemikian rupa kita mempertahankan tradisi dan kriteria dalam menentukan seseorang yang mumpuni untuk diangkat menjadi seorang pendekar, akan tetapi organisasi yang menaungi menentukan kriteria yang lain dalam pengangkatannya. Hingga konteks yang menentukan hal itu sendiri dilupakan. Dalam perkembangan saat ini, banyak yang diangkat menjadi seorang pendekar hanya sekedar untuk kepentingan yang terselubung, entah itu sebagai prestise atau sekedar untuk mencari dukungan agar organisasi yang dinaungi dapat bertahan hidup lebih lama (akibat dari masalah finansial, perekrutan massal atau sebab yang lain), dinilai bukan karena kapasitasnya yang telah berjasa bagi masyarakat atau bagi organisasinya. Terdapat beberapa penyebab kurang maksimalnya peran pendekar pada masa kini sebagai tonggak pertama pelestari budaya tradisional. Pertama, belum adanya kesepakatan untuk membentuk komunitas pendekar yang telah purna silatnya walaupun berbeda aliran ataupun perguruan. Sebab setiap aliran mempunyai karakter dan ciri khas tersendiri sehingga agak sulit untuk saling mendukung untuk eksis dalam keberagaman. Meskipun pemerintah telah memfasilitasi dengan dibentuknya organisasi IPSI yang di”kuasai” 10 perguruan historis, wadah-wadah kecil yang menampung aspirasi berbagai aliran silat yang belum termasuk juga diperlukan. Kedua, komposisi masyarakat yang majemuk dan berujung pada permintaan akan pembentukan identitas universal yang baru. Adanya keberagaman keinginan masyarakat, tentunya mewarnai dalam menentukan arah yang akan dituju sebuah orgasnisasi. Dalam hal ini kebijakan yang diambil dikalangan atas para pendekar belum tentu sesuai dan semakna pada komunitas pendekar ataupun para pesilat akar rumput. Ketiga, terdapat keterbatasan sumber daya tenaga ahli terutama dalam kaderisasi generasi muda, teknologi informasi sebagai wahana penyampaian aspirasi, dan finansial yang mencukupi. Masalah yang ketiga ini terbentur akibat dari para sesepuh yang telah menjadi pendekar tetap bersikukuh merasa bahwa mereka tidak perlu perubahan dan menyesuaikan dengan hal-hal baru dalam dunia persilatan. Apa yang mereka dapatkan pada masa lalu dipertahankan tanpa ada penyesuaian dengan masa kini. Seperti tertulis di atas pendekar diangkat bukan karena kapasitasnya sebagai seorang pendekar melainkan karena berpengaruh di masyarakat entah secara kekuasaan ataupun finansial. Sehingga pencarian sosok pendekar yang dekat dengan masyarakat, penjaga tradisi budaya dan paham akan intuisi agak sulit tercapai.
Namun demikian, dari sudut lain, ternyata ilmu silat membentuk sesuatu yang tak kalah pentingnya dari ilmu olah batin itu sendiri yaitu membentuk karakter, perilaku dan moral. Di dalam silat ada semacam sifat untuk menjaga diri, tapi bagaimana menjaga diri tanpa mempunyai rasa permusuhan. Seperti sebuah pohon yang tumbuh harus menjaga keamanan dirinya, tetapi ia tetap hadir sekaligus memberikan keindahan atau pengayoman. Sehingga belajar ilmu silat dapat membuka kesadaran, mengasah, dan memberikan daya kepekaan untuk selalu memahami sekaligus melindungi lingkungan sekitar. Hal ini dipahami sebagai local genius atau local wisdom (kearifan budaya lokal), yang seharusnya diawali dan dicontohkan oleh pendekar. Pendekar haruslah dapat mengayomi dan melindungi seseorang ataupun suatu kelompok masyarakat dari gangguan fisik ataupun non fisik yang datang dari luar, dapat menjaga keamanan dan stabilitas masyarakat, lingkungan sekitar, dan ahli dalam ilmu-ilmu pengobatan. Seorang pendekar pastilah mempunyai filosofi kehidupanya sendiri-sendiri, begitu juga ilmu yang dimiliki pasti berbeda satu dengan yang lain dalam kemanfaatan ilmunya dimasyarakat. Sebenarnya jejaring seni budaya yang digunakan ini bisa menjadi soft power yang kokoh dalam melindungi kekayaan budaya bangsa di tengah arus globalisasi. Tentu dengan falsafah yang ada pada tiap tradisi silat dan disinergikan dengan attitude modern sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman, tanpa melupakan falsafah yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Dipastikan untuk berkomitmen pada konservasi budaya yang ada juga tinggi. Saat nilai-nilai kearifan budaya lokal telah disosialisasikan salah satunya melalui silat maka untuk membangun budaya, menjaga warisan budaya akan lebih mudah sehingga kita tidak akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang majemuk akan budaya. Lebih jauh lagi, sinergi dengan pembentukan perilaku, moral, dan karakter melalui silat bisa mengembalikan kepemilikan budaya pada generasi zamannya, sehingga anak-anak muda tidak menjadi gelandangan budaya, tetapi dapat menjadi salah satu tuan rumah atas tradisi nasional itu sendiri.
Kebudayaan yang telah bersinergi dengan kehidupan sehari-hari tentunya dapat membangun karakter dan mentalitas para pemuda-pemudi. Sebab kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan masyarakat. Biasanya kebudayaan adalah sesuatu yang turun-temurun sehingga mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, ilmu pengetahuan, serta struktur yang ada pada masyarakat yaitu kearifan lokal itu sendiri. Dapat dipastikan bahwa kebudayaan tersebut akan menjadikan para pemuda-pemudinya lebih peduli terhadap lingkungan sekitar sehingga konservasi yang dilakukan tidak sia-sia. Oleh karena itu sudah selayaknya kita memikirkan bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan kebudayaan lokal kita, eksistensi kebudayaan yang kita miliki merupakan proses sosial kompleks yang multi faset : melibatkan pendidikan, sains dan teknologi, ekonomi, politik. Setidaknya menjamin sinergitas antar fase tersebut cukuplah bagi kearifan lokal untuk dapat eksis.
Dengan kemampuan yang ada dan azas kebermanfaatan bagi masyarakat, silat tidak membentuk manusia menjadi sakti, tetapi untuk mencapai perbaikan kualitas kepribadian dan moral. Karena dalam pembelajaran ilmu silat itu ada disiplin dan aturan-aturan dimana kepribadian terbentuk bersamaan melalui proses-proses latihan, dan pendidikan moral terbentuk saat proses menjadi seorang pendekar sejati. Jika pedoman dasar kepribadian dan standar moral yang teguh, adaptif, progressif dan membudaya itu kita miliki barangkali pertikaian yang ada pada bangsa ini tidak perlu terjadi lagi.

tugas angwahyutr dalam mata kuliah sosiologi olahraga, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar