Selasa, 05 April 2011

Sufi



Bismillahirohmanirokhim

” Allah Azza Wa Jalla satu-satunya sumber kebahagiaan dan kesedihan. Dialah sumber kepedihan sekaligus obatnya. Jiwa mengingat ini, seperti tetes air mengingat samudra dan begitu merindukan Persatuan Tertinggi. Semua yang kalian pelajari di jalan ini tak lain adalah perenungan akan kebenaran ini, sebab semua pengetahuan sejati berasal dari dzikir. Kita mesti membersihkan hati dengan air mata sesal, agar bisa memantulkan cahaya rahmat dan kasih-Nya.”

Pada suatu hari di masa lalu, seorang dari kaum Qalandar bertemu dengan seorang penjahat besar.
Pada masa lalu, seorang faqir pengelana tiba di sebuah oasis di sebuah gurun di barat. Dia seorang Qalandar yang berkelana di gurun-gurun Afrika dan Arab selama bertahun-tahun. Dia mencari-cari tempat penyendirian agar bisa mengingat Tuhannya dan merenungi misteri-misteriNya. Amal, iman, dan kepasrahannya kepada Tuhan membuatnya dianugerahi kedamaian jiwa. Ketulusan dan ibadahnya di Jalan Cinta sangatlah mendalam, sehingga hal-hal gaib tersingkap padanya, dan ia menjadi seorang Wali, Sahabat Allah Azza Wa Jalla. Faqir itu tiba di oase malam hari. Ia segera merebahkan tubuhnya di bawah pohon kurma untuk beristirahat sejenak sebelum menunaikan shalat tahajud. Tapi, tanpa disadari, ada lelaki lain yang juga sedang beristirahat di dekat pohon tersebut. Tapi lelaki tersebut adalah penjahat tersohor, gembong dari sekelompok penjahat yang dahulu sangat ditakuti orang. Mereka dulu suka merampok kafilah-kafilah pedagang kaya yang bepergian melalui kota-kota di pedalaman. Tapi kekejaman para penjahat itu akhirnya sampai ke telinga Sultan, dan karenanya ia memerintah prajuritnya untuk memburu dan membunuh gerombolan perampok itu. Banyak anggota perampok tertangkap dan dipancung kepalanya. Yang lainnya meninggalkan gembong penjahat tersebut. Sebagian lagi mengkhianatinya karena takut dihukum pancung seperti kawan-kawannya yang lain. Akhirnya pentolan penjahat itu sendirian. Hartanya ludes semua. Uangnya yang terakhir sudah habis dalam pelarian. Kini ia menjadi buronan nomor wahid. Kepalanya dihargai sangat mahal, bahkan mantan kawan-kawannya, yaitu para penadah barang-barang hasil jarahannya, kini tak mau lagi menolongnya. Mereka juga takut jika kemarahan Sultan menimpa diri mereka. Karena itulah penjahat ini melarikan diri berhari-hari melintasi gurun dan sampai di oasis tersebut dalam keadaan letih dan lapar. Ia duduk di bawah pohon dan merutuki nasibnya yang malang.

” Nah, sekarang aku bertanya pada kalian, dari dua lelaki itu, mana yang lebih agung dan mana yang lebih rendah? Siapa yang di berkahi Allah Azza Wa Jalla dan siapa yang dilaknat-Nya? Jangan, jangan menjawab! Kalian tak akan tahu jawabannya, sebab kalian bukan hakim mereka. Hanya Sang Penciptalah yang berhak menghakimi ciptan-Nya.”

Tapi, Malaikat Munkar dan Nakir, yang bertugas menanyai orang yang sudah meninggal, melihat keadaan kedua orang itu. Kata Malaikat Munkar, ”Di sini jelas tampak beda antara emas yang murni dan yang palsu. Dua orang ini sudah bisa dinilai mutu jiwanya, walau mereka belum mati. Allah Azza Wa Jalla akan mengangkat lelaki yang saleh dan syetan akan menemani lelaki jahat itu.”
’Pasti demikian,’ kata Malaikat Nakir setuju. ”Emas sejati amatlah langka. Surga amatlah luas dan neraka penuh api yang menyala-nyala hingga ke dasarnya.”
Allah Azza Wa Jalla mendengar bersitan pikiran kedua malaikat-Nya itu. Allah Azza Wa Jalla lalu berbicara kepada hati dua malaikat itu: ”Kalian telah menghakimi nasib mereka. Namun manusia akan celaka jika Aku menghakimi makhluk-Ku hanya dengan keadilan belaka. Bukankah Aku Maha Pengasih lagi Maha Penyayang? Saksikanlah! Aku akan mengunjungi mereka dalam tidur dan visi mereka, agar kalian tahu kebenaran sejati dari makhluk-Ku.”
Lalu Allah Azza Wa Jalla menidurkan dua orang itu dan mengirimkan mimpi kepada si faqir dan penjahat tersebut. Qalandar yang alim itu bermimpi berada dalam neraka, bahkan berada di dasar neraka yang paling dalam, dengan nyala api yang paling lebat dan hebat. Sedangkan pentolan penjahat itu berada di surga, berdiri bersama-sama para Wali Allah di hadapan singgasana-Nya. Kedua malaikat itu menyaksikan si faqir yang saleh berada di tengah-tengah neraka, dan melihat orang yang sangat baik ini berdiri telanjang dengan api membakar dagingnya. Jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa membuat telinganya sakit. Tapi lelaki itu tidak merasakan kesakitan saat api neraka membakarnya, dan ia bahkan tak terkejut ataupun takut. Ia hanya memikirkan Sang Kekasih, dan penderitaan sehebat apapun tak bisa mengalihkan perhatiannya kepada Allah Azza Wa Jalla. Ia lalu duduk diselimuti kobaran api yang panas dan menyesakkan. Dengan suara tenang dan keras Sufi itu mulai berdzikir:
Laa Illaha Illa Allah
Api itu menyala lebih hebat saat dzikirnya menggelegar. Lalu api itu meredup, dan gunung-gunung api di neraka bergetar hebat mendengar dzikirnya. Jiwa-jiwa lain yang disiksa di neraka berhenti menjerit dan memasang telinga lebar-lebar, karena nama Allah Azza Wa Jalla selama ini tak pernah diucapkan di neraka. Kemudian semua suara lenyap kecuali suara dzikir itu. Lelaki itu terus berdzikir sampai dasar dan fondasi neraka berguncang hebat, sedangkan para penghuni lain yang terkutuk di neraka mulai mendapatkan secercah harapan untuk bebas dari adzab neraka. Neraka itu pasti akan runtuh berkeping-keping jika Iblis tidak muncul dan memohon kepada si faqir untuk menghentikan dzikirnya. Tapi lelaki saleh itu terus saja berdzikir, sebab ia sudah lama menapaki Jalan Cinta, dan kehendak Sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya, entah ia dimasukkan ke dalam surga atau neraka.
Sedangkan gembong penjahat yang dulu begitu ditakuti, dan kemudian tersia-sia dan menderita, kini mendapatkan tempat yang begitu indah. Allah Azza Wa Jalla juga memperlihtkan keadaan penjahat itu kepada kedua malaikat-Nya. Mereka melihat penjahat itu berdiri dengan jubah panjang, gemetar di tengah-tengah penghuni surga di hadapan singgasana Allah Azza Wa Jalla Yang Maha Kuasa. Dan Malaikat Jibril berbicara kepada lelaki itu: ’Dengan rahmat dan kasih Allah Azza Wa Jalla, Penciptamu, perbuatan burukmu telah dimaafkan, Kini masuklah dengan damai.’
Dan kini, kebenaran memasuki hati sipenjahat itu. Ia amat takjub, air mata menetes dari matanya. Lalu ia menyaksikan keagungan dan keindahan Dzat Yang Maha Pengasih. Ia pun tersungkur dan menangis sejadi-jadinya.
Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman kepadanya: ”Wahai anak cucu Adam, janganlah takut. Sebab tiada satu pun yang terperosok ke dasar tanpa bisa Aku angkat kembali ke permukaan”
Penjahat itu tak lagi jeri. Ia berlutut dan bersujud kepada-Nya sembari terus menangis. Air matanya mengalir tiada henti. Ia menyesali hidupnya yang kelam di masa lampau. Air matanya menjadi aliran rahmat yang tak bisa berhenti. Ia akan terus menangis kalau saja visi yang dihadirkan Allah Azza Wa Jalla itu tidak diakhiri. Kedua lelaki itu bangun mendadak. Kemudian sang penjahat melihat si faqir. Ia mendekati faqir itu sambil masih menangis. Si faqir yang mengetahui keadaanya lalu memeluknya. Mereka berdua melakukan shalat dan berdoa bersama sampai fajar mengembang. Akhirnya, penjahat itu menjadi murid si faqir. Sementara itu, Malaikat Munkar dan Nakir, yang baru saja melihat setetes dari rahmat Allah Azza Wa Jalla yang tiada habisnya, bersujud di hadapan Allah Azza Wa Jalla. Mereka malu karena terburu-buru menghakimi. Penilaian Allah Azza Wa Jalla berada di luar pemahaman manusia dan malaikat. Demikianlah…
Membersihkan hati dari penghakiman akan membuka salah satu Jalan Cinta.

Karchmar, Irving. Master Of theJinn: A Sufi Novel. Bay Street Press, Sag Harbor, New York.2004

1 komentar: